I. SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP
Induk peraturan hukum pidana positif
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah
Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana
Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturanperaturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
II. Sistematika KUHP
Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal
1-103).
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104
s.d. 488).
C Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-
569).
Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (lihat Pasal 103 KUHP).
III. Usaha Pembaharuan Hukum Pidana
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa
Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
a. alasan yang bersifat politik
adalah wajar bahwa negara Republik
b. alasan yang bersifat sosiologis
suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
c. alasan yang bersifat praktis
teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
Selain pendapat Sudarto di atas, Muladi menambahkan alasan perlunya pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP nasioanl di masa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembanganperkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti KUHP.
Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang yang menyebutkan bahwa pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya.
Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform). Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di
0 komentar:
Posting Komentar