Sabtu, 21 Maret 2009

PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hakhak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional.

Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,sebagai landasan konstitusional.

Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang di dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian sejauhmana perlindungan korban kejahatan di Indonesia telah diterapkan.

PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI KONKRITISASI DARI UPAYA PENEGAKAN HUKUM

A. Hukum Dan Negara

Negara merupakan sebuah entiti (kesatuan wilayah) dari unsur-unsur pembentukan negara, yang di dalamnya terdapat berbagai hubungan kepentingan dari sebuah komuniti (masyarakat setempat) yang berlangsung secara timbal balik dan terikat oleh Kesatuan Wilayah.

Komuniti atau masyarakat setempat adalah penduduk yang masingmasing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya.

Seorang manusia tidak dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa alat fisik yang memadai (cukup) untuk hidup sendiri, karena itu manusia harus selalu berhubungan (berkawan) dengan manusia-manusia lain yang dapat mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.

Wadah yang dipergunakan manusia dalam mewujudkan interaksinya satu sama lain sangat beragam, mulai dari yang kecil yaitu keluarga hingga yang paling besar yaitu negara.Negara sering dikatakan sebagai “kesatuan wilayah” karena wilayah bagi sebuah negara merupakan unsur mutlak sekaligus tempat bermukimnya penduduk, dan tempat bagi efektifitas fungsi sosiologis dan politis suatu negara.

Ketika suatu negara mampu melaksanakan kekuasaan dan wewenang di wilayahnya, artinya negara tersebut telah memiliki sebuah “Kedaulatan Wilayah” (Territorial Sovereignty) yaitu otoritas khusus untuk melaksanakan kekuasaan dan wewenang di wilayahnya yang merupakan kewenangan tertinggi (highest authority) yang merdeka (independence) dan bebas (independent) dari pengaruh kekuasaan asing (atau negara lain), khusus untuk wilayahnya. Agar hubungan komuniti di wilayahnya dapat berjalan dengan efektif, tentu diperlukan peran serta pemerintah untuk mewujudkan kekuasaan negara tersebut. Pemerintah dengan kewenangan yang diberikan oleh negara diberi tugas untuk mengorganisir penduduk di wilayahnya, karena tidak ada negara dengan penduduk yang disorganised hidup berdampingan dengan pemerintahan yang terorganisir.

Selain itu, melalui pemerintahan yang ada, suatu negara dapat memberikan perlindungan pada penduduknya dan memenuhi kepentingan-kepentingan penduduknya. Guna menjamin kesinambungan antara pelaksanan perintah dan kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh pemerintahnya serta menjaga keseimbangan hubungan kepentingan di wilayahnya, maka negara memerlukan suatu instrumen/sarana yang dapat menjamin agar hubungan antara pemerintah dan penduduknya dapat berjalan harmonis, dan instrumen/sarana yang dimaksud adalah Hukum.

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakan kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur.

Kekuasaan suatu negara terhadap wilayah (teritorinya) dan terhadap masyarakat yang berada di dalamnya, tidak lepas dari asal mula terbentuknya ”negara” itu sendiri. Telah diakui bersama akan disebut sebuah negara, apabila memenuhi persyaratan yang telah diakui secara umum, yaitu:

1. Memiliki wilayah tertentu,

2. Memiliki rakyat, serta

3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Walaupun ada keharusan untuk dipenuhinya persyaratan de jure yaitu adanya pengakuan dari dunia internasional, akan tetapi apabila telah terpenuhi ketiga persyaratan di atas, maka secara de facto telah dapat disebut sebagai “negara”. Bila kita mundur lebih jauh pada awal masa penciptaan manusia, serta pada awal manusia baru mulai hidup secara berkelompok, akan muncul beberapa pertanyaan, seperti bagaimanakah “negara” tersebut dapat terbentuk? bagaimanakah hingga terciptanya suatu kelompok yang dinamakan pemimpin atau aparatur pemimpin atau pemerintahan dapat terbentuk untuk mengatur kehidupan kelompok orang lainnya yang disebut sebagai rakyat?

Para ahli Ilmu Negara pun sesungguhnya sulit menjelaskan jika ditanya bagaimana sesungguhnya negara atau suatu pemerintahan dapat terbentuk pada awal mulanya. Banyak muncul pembicaraan yang membahas mengenai permasalahan tersebut yang kesemuanya bermuara pada adanya keinginan untuk mengetahui asal usul terbentuknya negara. Karena itulah, dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan teoriteori yang menjelaskan mengenai asal mula negara.

Secara garis besar, terdapat 9 (sembilan) teori mengenai asal mula terbentuknya negara, yakni

1. Teori Perjanjian Masyarakat,

2. Teori KeTuhanan,

3. Teori Kekuatan,

4. Teori Patriarkhal atau Matriarkhal,

5. Teori Organis,

6. Teori Daluwarsa,

7. Teori Alamiah,

8. Teori Idealis, dan

9. Teori Historis.

Kesembilan teori tersebut didukung oleh para ahli yang berbedabeda, dan karena teori-teori tersebut merupakan teori yang bersifat spekulatif, maka teori tersebut mengedepankan dasar yang berbeda pula mengenai bagaimana asal mula terbentuknya negara. Walaupun demikian, terdapat satu benang merah yang menghubungkan kesembilan teori tersebut, yaitu tidak akan ada suatu negara yang akan terbentuk apabila tidak ada kelompok masyarakat untuk dipimpin.

Dari beberapa teori yang disebutkan di atas, hanya satu teori yang akan dibahas secara mendalam, yaitu Teori Perjanjian Masyarakat yang kami anggap paling relevan dengan tema buku ini. Dalam Teori Perjanjian Masyarakat disebutkan bahwa pada awal mulanya, masyarakat di suatu wilayah berada dalam keadaan alamiah dimana orang-orang yang saling berinteraksi menimbulkan sebab dan akibat satu sama lainnya, yang mana hasil interaksi tersebut tidak selalu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pada saat itu, satu-satunya aturan yang berlaku adalah hukum rimba atau juga disebut hukum ikan (fish law).

Karena itu, individu-individu merasa perlu adanya pihak ketiga yang dapat menerbitkan aturan-aturan dalam kehidupan sosial mereka sehingga sekalipun terjadi konflik atau pertentangan di antara mereka, maka telah ada aturan ataupun pihak yang dapat menyelesaikannya.

Dengan berbekal pemikiran inilah, maka kelompok masyarakat tersebut menunjuk seorang atau sekelompok orang untuk memimpin mereka serta mengadakan aturan-aturan yang melindungi kepentingan - kepentingan mereka serta memelihara keamanan dan ketertiban kelompok masyarakat tesebut. Sebagai timbal baliknya atas penunjukkan orang atau sekelompok orang tersebut, kelompok masyarakat itu harus mematuhi dan menghormati keputusan-keputusan serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang atau sekelompok orang yang telah ditunjuk. Selain itu, kelompok masyarakat tadi harus memberikan sebuah bentuk imbal jasa atas tugas orang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur serta melindungi mereka. Imbal jasa tersebut pada zaman dahulu kita kenal dengan istilah “upeti” atau hampir sama dengan pajak kepada penguasa. Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang paling tua yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.

0 komentar:

EVI ERNAWATI KRISTINA © 2008 Por *Templates para Você*