Sabtu, 21 Maret 2009

POLITIK HUKUM PIDANA

I. SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.

Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan.

Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.

Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturanperaturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.

Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

II. Sistematika KUHP

Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:

a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal

1-103).

b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104

s.d. 488).

C Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-

569).

Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (lihat Pasal 103 KUHP).

III. Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:

a. alasan yang bersifat politik

adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundangundangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

b. alasan yang bersifat sosiologis

suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.

c. alasan yang bersifat praktis

teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.

Selain pendapat Sudarto di atas, Muladi menambahkan alasan perlunya pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP nasioanl di masa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembanganperkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti KUHP.

Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang yang menyebutkan bahwa pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya.

Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).

Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform). Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.

Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).

2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).

3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).

4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).

5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).

6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah).

7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).

8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).

9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).

10 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).

11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).

Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundangundangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.

Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569 pasal.

PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN REKONVENSI

Perkara Permohonan Cerai talak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 UU N0. 7 Tahun 1989 yang direvisi menjadi U U No 3 Tahun 2006 “ Cerai Talak adalah Permohonan Cerai yang diajukan oleh Suami terhadap Isterinya di wilayah Pengadilan Agama dimana Isterinya menetap dan bertempat tinggal, dan setelah perkara diperiksa dan tidak bisa di damaikan maka apabila perkara cukup alasan untuk cerai maka di putus dengan mengabulkan permohonan tersebut ( penetapan penyaksian Pengadilan menentukan hari sidang penetapan penyaksian ikrar talak dengan memanggil Para Pihak untuk hadir di persidangan , dan jika Isteri tidak hadir tanpa alasan yang sah maka Suami dapat mengucapkan Ikrar Talak. Namun jika Suami tidak hadir dan tidak mengirimkan wakil nya dalam jangka waktu 6 ( enam ) bulan maka gugurlah kekuatan Penetapan Ikrar Talak dimaksud.

Sedangkan Pengertian Rekonvensi adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 132 ayat ( 1 ) HIR ,Pasal 157 R B G memberikan pengertian “ Gugatan Rekonvensi adalah gugatan Tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya, yang tentunya dalam kaitannya dengan perceraian adalah Rekonpensi tentang Nafkah, Asuhan Anak, Gono Gini / harta bersama dan seterusnya .

PERMASALAHAN

Pada dasarnya Pengadilan ( dalam hal ini Pengadilan Agama ) bertugas menerima memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya Pasal 63 (1) UU No. 1 Tahun 1974, sesuai dengan kewenangan nya seperti yang tercantum dalam Pasal 49 ( 1 ) UU No 7 Tahun 1989 yang direvisi menjadi UU No 3 Tahun 2006 , termasuk didalam nya adalah perkara Cerai Talak atau lazim disebut permohonan Izin Talak ( dalam praktek ) yang termaktub dalam Pasal 66 UU no 7 Tahun 1989 , Yaitu perceraian yang diajukan oleh Pemohon dalam hal ini adalah Suami sebagai Pemohon sedangkan Isteri sebagai Termohon, namun kemudian berkembang setelah permohonan / gugatan tersebut diajukan oleh Pemohon dan dijawab oleh Termohon dengan mengajukan gugat balasan / balik ( rekonpensi ) tentang nafkah, asuhan anak, harta gono gini / harta bersama disertai permohonan sita jaminan (conservatoir beslag ) dan seterus nya misalnya, sebagai maksud dan perkembangan dari Pasal 86 UU No. 7 Tahun1989 sebagaimana yang ditulis oleh M.Yahya Harahap, S H, dalam buku nya” Kedudukan kewenangan dan acara Peradilan Agama ‘

Bahwa yang dimaksud Gugat rekonpensi adalah gugat yang didalam nya benar benar memuat semacam :

mempunyai “ jalinan hubungan yang erat “ atau innerlijke samenhangen antara gugat konpensi dengan rekonpensi.

sekaligus dapat menyelesaikan seluruh sengketa yang timbul dari akibat gugat cerai talak apabila permohonan cerai talak dikabulkan .

mempersingkat pemeriksaan perkara, karena dalam satu proses yang sama dapat dislesaikan seluruh sengketa .

juga memperingan biaya perkara sebab dengan gugat rekonpensi isteri tidak di beban imembayar biaya perkara .

serta sekaligus menghemat waktu sebab gugat harta bersama tidak perlu lagi diajukan nanti setelah penetapan cerai talak berkekuatan hokum tetap.

Maksud dan tujuan adanya penggabungan Konpensi dengan rekonvensi di gabung menjadi satu perkara adalah untuk memenuhi tuntutan penyelesaian, dengan sederhana , cepat, dan biaya ringan ( Pasal 57 (3) U U No 7 / 1989 ), walaupun dalam perkara perceraian dengan Gono Gini misalnya ada perbedaan antara Hukum orang dan Hukum Benda , yang dilaksanakan dalam sidang secara terbuka dan sidang tertutup ( Pasal 59 UU Nomor : 7 / 1989 ) , namun itu semua di kesampingkan , karena UU memang memberi pengecualian / eksepsional yang biasa di sebut termasuk dalam azas “ LEX SPESIALIS DEROGRAT LEX GENERALIS “ .

Maka perkara permohonan cerai talak berrupa konpensi dan gono gini menjadi rekonpensi nya akan diperiksa sesuai dengan tahapan yang ada , setelah pembacaan surat gugatan kemudian jawaban ( yang didalamnya ada permintaan Sita Jaminan yang diajukan oleh Tergugat ( Penggugat Rekonpensi ) dengan mengabulkan, sita tersebut dilanjutkan dengan replik, duplik, serta bukti bukti dari Para Pihak maka barulah di bacakan lah putusan dengan menagabulkan cerai talak ( ijin talak ) dan sekaligus mengabulkan gugatan gono gininya misalnya , kemudian pihak Pemohon mengajukan Banding ,dan setelah diputus ia mengajukan Kasasi misalnya , namun ternayata setelah putusan Kasasi diberitahukan pada Para pihak dan punya kekuatan hukum tetap ( ingkracht ), dipanggillah Para Pihak untuk mengucapkan IKRAR TALAK dan ternyata Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut ( tidak hadir dalam persidangan tanpa alas an yang sah dan tidak mewakilkan ), maka sia sia lah pemeriksaan perkara yang cukup lama bahkan bertahun tahun, , cukup melelahkan dengan menghabiskan biaya yang banyak tersebut. Dan hal yang demikian ini pernah terjadi / sering dialami pada Pengadilan Agama yang menerima / menyelesaikan perkara carai talak dengan Rekonpensi seperti tersebut diatas.

Maka timbul pertanyaan apakah demikian itu akhir dari putusan Pengadilan Agama yang saat ini menjadi Pengadilan yang baik, sempurna dan putusan nya dapat dlaksanakan dengan baik pula ( setelah berkekuatan hukum tetap ) , tentu jawaban nya “ tidak demikian itu “ agar supaya Pengadilan Agama tidak dikatakan sebagai Pengadilan Quasi ( Semu) seperti sebelum di undangkan nya uu no 7 / 1989.

PENYELESAIA

1. Pertama Pengadilan menyarankan pada Pihak Termohon agar tidak mengajukan gugatan Rekonvensi karena sangat beresiko jika Pemohon tidak bersedia mengucapkan Ikrar Talak ( sebagaimana kasus tersebut diatas )

2. Kedua Pengadilan mengabulkan gugatan / Permohonan Konpensinya / Cerai Talak dan menyatakan tidak dapat menerima ( N O ) terhadap gugatan balik / Rekonpensi Termohon ( Rekonpensi tersebut ) misalnya , yang tentunya harus beralasan berdasar bahwa gugatan balik tidak beralasan hak.

3. Ketiga Pengadilan ( Majlis Hakim ) memutus , mengadili perkara Konpensi lebih dahulu , kemudian baru memutus perkara Rekonpensi nya ( tentunya putusan tersebut oleh Majlis Hakim yang sama dan Nomor perkara yang sama pula .

Bahwa dalam solusi yang pertama mungkin dapat dilakukan dengan Penasehatan – Penasehatan dan anjuran pada Termohon untuk mengurungkan gugatan Rekonpensinya ( bila hendak mengajukan ) atau mencabut gugat Rekonpensi nya ( bila mana sudah terlanjur mengajukan ) kemudian ia di sarankan mengajukan gugat tersendiri tentang Gono Gini tersebut misalnya dengan Nomor dan biaya tersendiri pula , namun hal tersebut kuncinya adalah terserah Pihak Termohon , bila ia bersedia mengurungkan atau mencabut gugatan balik nya tersebut , namun tidak menutup kemungkinan ia enggan mengurungkan atau mencabut nya sehingga perkara tetap berjalan antara Konpensi dan Rekonpensi tersebut , sebab saran tersebut tidak mengikat dan pada azas nya Pengadilan tidak bolrh menolak perkara dengan alas an tidak ada hokum nya ( Pasal 56 U U No 7 Tahun 1989 ).

Bahwa dalam solusi yang kedua Pengadilan memutus dengan mengabulkan gugatan/ permohonan Konpensi dan menyatakan tidak dapat menerima gugatan rekonpensi nya , yang tentunya bila majlis menilai dalam gugatan tersebut tidak beralasan hak ( tidak bisa direkayasa ) , namun tetap saja bila Para Pihak khusus nya Termohon tidak bisa menerimanya , ia akan mengajukan upaya hokum berupa banding , Kasasi itupun dengan catatan Amar Putusan Banding ataupun Kasasi belum pasti seperti Amar Putusan tingkat Pertama tersebut dan pada akhirnya dari iyu semua juga sama jika Pemohon tidak mengucapkan Ikrar Talak perkara cerai talak tersebut tetap sia sia.

Padahal anjuran pencabutan gugat rekonpensi tersebut adalah tidak sesuai dg azas :

Perkara gugat cerai / cerai talak adalah sama persis dengan gugat contentiosa. Pasal 66 ayat ( 2 ) dan Pasal 67 huruf a UU No 7 / 1989

Kepada Isteri diberikan hak mengajukan upaya hukum banding. Pasal 70 ayat ( 2 ) UU No. 7 / 1989

gugat cerai talak dimungkin kan untuk menggabungnya dengan gugat pembagian harta bersama ( Kumulasi Obyektif ). ( Pasal 66 ayat ( 5 ) UU No. 7 / 1989.

Bahwa dalam Solusi yang ketiga Pengadilan menyelesaikan lebih dahulu gugatan / Permohonan Konpensi yang berupa Cerai Talak ( mengabulkan / mengijinkan Pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak di depan sidang Pengadilan Agama dan kemudian bila mana sudah berkekuatan hokum tetap Pengadilan memanggil Para Pihak untuk mengucapkan Ikrar Talak

Bahwa setelah itu Pengadilan memeriksa gugatan balik / Rekonpensi yang diajukan oleh Termohon Tersebut yaitu tahap pembuktian nya sampai dengan tuntas ( mengucapkan putusan nya ) .

Bahwa dalam penyelesaian perkara seperti ini harus diperhatikan pada saat jawab menjawab artinya masalah perceraian memang mereka kehendaki dan setidaknya telah terbuk ti memang ada pertengkaran terus menerus yang sulit didamaikan , namun bila perceraian nya Pihak Termohon keberatan , tidak mungkin perkara Konpensi dan Rekonpensi di putus sendiri sendiri ( perkara Konpensi diputus lebih dahulu kemudian setelah Ingkrancht perkara Rekonpensi diperiksa dan diputus pula dalam satu Nomor.

Bahwa Solusi yang ketiga ini di dasarkan pada Pasal 132 b ayat ( 2 ) H I R / Pasal 157 , 158 R B G yang berbunyi “ untuk tuntutan balik itu berlaku juga bagian2 dari tuntutan ini ,. Dalam ayat ( 3 ) nya berbunyi “ kedua perkara ini diseleseaikan sekaligus dan diputus dalam satu keputusan Hakim kecuali kalau pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dulu daripada yang lain, dalam hal ini kedua perkara itu boleh diperiksa satu persatu tetapi, tuntutan asal dan tuntutan balik yang belum diputus kan itu tetap diperiksa oleh hakim yang sama sampai dijatuhkan keputusan yang terakhir ( R V 246 ) .

Bahwa solusi yang ketiga inilah menurut Penyaji Makalah yang dapat menyelesaikan permasalahan atau setidak nya memecahkan persoalan yang selama ini menjadi kendala dalam perkara cerai talak yang di rekonpensi sebagaimana tersebut diatas dan pada akhirnya Putusan Rekonprnsi tidak tergantung perkara konpensi / cerai talak ( ikrar talak nya Pemohon ) karena mereka telah menyelesaikan perkara perceraian nya sampai berkekuatan hokum tetap kemudian dil;anjutkan dengan pemeriksaan perkara Rekonpensinya sampai tuntas selesai,

Kemudian timbul pertanyaan bagaimana jika terjadi banding dan kasasi dalam perkara tersebut maka jawabannya adalah , perkaraa Rekonpensi tersebut boleh Banding, Kasasi , sedangkan perkara cerai talak nya adalah sebagai lampirannya , karena telah Inkrachrt, maksudnya putusan Cerai talak yang sudah berkekuatan hokum tetap tersebut disertakan sebatas sebagai lampiran

Adapun tentang lain lain ( bagaimana penulisannya dalam Buku Regester pola bin dal min dan seterusnya ) hal itu bisa ditulis / di tambahkan , tetapi yang jelas tehnis Yustisial tidak boleh dikalahkan oleh adminitrasi seperti penulisan dan seterus nya.

Demikian antara lain sumbangan pikiran tentang pemecahan dan penyelesaian perkara cerai talak dengan Rekonpensi yang selama ini menjadi problematika pada Pengadilan Agama. Semoga makalah singkat ini dapat menambah wawasan kita dan Allah S W T selalu memberi ilmu dan petunjuk serta meridhoi apa yang kita kerjakan. amien

PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hakhak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional.

Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,sebagai landasan konstitusional.

Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang di dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian sejauhmana perlindungan korban kejahatan di Indonesia telah diterapkan.

PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI KONKRITISASI DARI UPAYA PENEGAKAN HUKUM

A. Hukum Dan Negara

Negara merupakan sebuah entiti (kesatuan wilayah) dari unsur-unsur pembentukan negara, yang di dalamnya terdapat berbagai hubungan kepentingan dari sebuah komuniti (masyarakat setempat) yang berlangsung secara timbal balik dan terikat oleh Kesatuan Wilayah.

Komuniti atau masyarakat setempat adalah penduduk yang masingmasing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya.

Seorang manusia tidak dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa alat fisik yang memadai (cukup) untuk hidup sendiri, karena itu manusia harus selalu berhubungan (berkawan) dengan manusia-manusia lain yang dapat mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.

Wadah yang dipergunakan manusia dalam mewujudkan interaksinya satu sama lain sangat beragam, mulai dari yang kecil yaitu keluarga hingga yang paling besar yaitu negara.Negara sering dikatakan sebagai “kesatuan wilayah” karena wilayah bagi sebuah negara merupakan unsur mutlak sekaligus tempat bermukimnya penduduk, dan tempat bagi efektifitas fungsi sosiologis dan politis suatu negara.

Ketika suatu negara mampu melaksanakan kekuasaan dan wewenang di wilayahnya, artinya negara tersebut telah memiliki sebuah “Kedaulatan Wilayah” (Territorial Sovereignty) yaitu otoritas khusus untuk melaksanakan kekuasaan dan wewenang di wilayahnya yang merupakan kewenangan tertinggi (highest authority) yang merdeka (independence) dan bebas (independent) dari pengaruh kekuasaan asing (atau negara lain), khusus untuk wilayahnya. Agar hubungan komuniti di wilayahnya dapat berjalan dengan efektif, tentu diperlukan peran serta pemerintah untuk mewujudkan kekuasaan negara tersebut. Pemerintah dengan kewenangan yang diberikan oleh negara diberi tugas untuk mengorganisir penduduk di wilayahnya, karena tidak ada negara dengan penduduk yang disorganised hidup berdampingan dengan pemerintahan yang terorganisir.

Selain itu, melalui pemerintahan yang ada, suatu negara dapat memberikan perlindungan pada penduduknya dan memenuhi kepentingan-kepentingan penduduknya. Guna menjamin kesinambungan antara pelaksanan perintah dan kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh pemerintahnya serta menjaga keseimbangan hubungan kepentingan di wilayahnya, maka negara memerlukan suatu instrumen/sarana yang dapat menjamin agar hubungan antara pemerintah dan penduduknya dapat berjalan harmonis, dan instrumen/sarana yang dimaksud adalah Hukum.

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakan kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur.

Kekuasaan suatu negara terhadap wilayah (teritorinya) dan terhadap masyarakat yang berada di dalamnya, tidak lepas dari asal mula terbentuknya ”negara” itu sendiri. Telah diakui bersama akan disebut sebuah negara, apabila memenuhi persyaratan yang telah diakui secara umum, yaitu:

1. Memiliki wilayah tertentu,

2. Memiliki rakyat, serta

3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Walaupun ada keharusan untuk dipenuhinya persyaratan de jure yaitu adanya pengakuan dari dunia internasional, akan tetapi apabila telah terpenuhi ketiga persyaratan di atas, maka secara de facto telah dapat disebut sebagai “negara”. Bila kita mundur lebih jauh pada awal masa penciptaan manusia, serta pada awal manusia baru mulai hidup secara berkelompok, akan muncul beberapa pertanyaan, seperti bagaimanakah “negara” tersebut dapat terbentuk? bagaimanakah hingga terciptanya suatu kelompok yang dinamakan pemimpin atau aparatur pemimpin atau pemerintahan dapat terbentuk untuk mengatur kehidupan kelompok orang lainnya yang disebut sebagai rakyat?

Para ahli Ilmu Negara pun sesungguhnya sulit menjelaskan jika ditanya bagaimana sesungguhnya negara atau suatu pemerintahan dapat terbentuk pada awal mulanya. Banyak muncul pembicaraan yang membahas mengenai permasalahan tersebut yang kesemuanya bermuara pada adanya keinginan untuk mengetahui asal usul terbentuknya negara. Karena itulah, dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan teoriteori yang menjelaskan mengenai asal mula negara.

Secara garis besar, terdapat 9 (sembilan) teori mengenai asal mula terbentuknya negara, yakni

1. Teori Perjanjian Masyarakat,

2. Teori KeTuhanan,

3. Teori Kekuatan,

4. Teori Patriarkhal atau Matriarkhal,

5. Teori Organis,

6. Teori Daluwarsa,

7. Teori Alamiah,

8. Teori Idealis, dan

9. Teori Historis.

Kesembilan teori tersebut didukung oleh para ahli yang berbedabeda, dan karena teori-teori tersebut merupakan teori yang bersifat spekulatif, maka teori tersebut mengedepankan dasar yang berbeda pula mengenai bagaimana asal mula terbentuknya negara. Walaupun demikian, terdapat satu benang merah yang menghubungkan kesembilan teori tersebut, yaitu tidak akan ada suatu negara yang akan terbentuk apabila tidak ada kelompok masyarakat untuk dipimpin.

Dari beberapa teori yang disebutkan di atas, hanya satu teori yang akan dibahas secara mendalam, yaitu Teori Perjanjian Masyarakat yang kami anggap paling relevan dengan tema buku ini. Dalam Teori Perjanjian Masyarakat disebutkan bahwa pada awal mulanya, masyarakat di suatu wilayah berada dalam keadaan alamiah dimana orang-orang yang saling berinteraksi menimbulkan sebab dan akibat satu sama lainnya, yang mana hasil interaksi tersebut tidak selalu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pada saat itu, satu-satunya aturan yang berlaku adalah hukum rimba atau juga disebut hukum ikan (fish law).

Karena itu, individu-individu merasa perlu adanya pihak ketiga yang dapat menerbitkan aturan-aturan dalam kehidupan sosial mereka sehingga sekalipun terjadi konflik atau pertentangan di antara mereka, maka telah ada aturan ataupun pihak yang dapat menyelesaikannya.

Dengan berbekal pemikiran inilah, maka kelompok masyarakat tersebut menunjuk seorang atau sekelompok orang untuk memimpin mereka serta mengadakan aturan-aturan yang melindungi kepentingan - kepentingan mereka serta memelihara keamanan dan ketertiban kelompok masyarakat tesebut. Sebagai timbal baliknya atas penunjukkan orang atau sekelompok orang tersebut, kelompok masyarakat itu harus mematuhi dan menghormati keputusan-keputusan serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang atau sekelompok orang yang telah ditunjuk. Selain itu, kelompok masyarakat tadi harus memberikan sebuah bentuk imbal jasa atas tugas orang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur serta melindungi mereka. Imbal jasa tersebut pada zaman dahulu kita kenal dengan istilah “upeti” atau hampir sama dengan pajak kepada penguasa. Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang paling tua yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.

Senin, 16 Maret 2009

PRINSIP - PRINSIP NEGARA HUKUM

Prinsip-Prinsip Negara Hukum

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial.

Namun, menurut pandangan saya justru cuma ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary), Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession), dan Kemerdekaan Pers (Press Freedom).

Ketiga unsur inilah yang paling berkepentingan untuk menjaga agar tetap tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dengan kedua belas cirinya yang sudah disebutkan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

Dalam pandangan saya , kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan.

Akan tetapi kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini juga harus ditopang oleh kemandirian dari profesi hukum, tanpa adanya kemandirian dari profesi hukum maka sulit untuk bisa mengharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Artinya asosiasi profesi hukum harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak-hak asasi manusia termasuk pemberantasan korupsi di suatu negara dan mengambil peran aktif dalam merumuskan tujuan negara di bidang hukum.

Kemerdekaan Pers merupakan kata kunci dalam memahami makna transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggara negara, maka saya sangat sepakat dengan pendapat dari Ketua MA Prof Dr. Bagirmanan, SH, MCL yang menyatakan bahwa “Jangan sampai tangan hakim berlumuran ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi, pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi tetapi juga penjaga demokrasi. Hakim sangat memerlukan demokrasi, Menurut dia, hanya demokrasi yang mengenal dan menjamin kebebasan hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu jangan sampai hakim ikut mematikan demokrasi. Jika itu terjadi maka tidak lain berarti hakim sedang memasung kebebasan atau kemerdekaannya sendiri.”

Unsur inipun penting karena tanpa adanya kemerdekaan pers maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemandirian profesi hukum menjadi hilang tak bermakna

Tiga ciri ini sangat penting untuk mendukung terciptanya negara hukum, karena jika salah satu ciri ini hilang, maka perdebatan konseptual dan konteksual akan negara hukumpun serta merta menjadi hilang. Dan masyarakat akan menjadi hilang kepercayaan terhadap kedaulatan hukum yang justru akan menjauhkan masyarakat dari aspek keadilan dan kepastian hukum.


EVI ERNAWATI KRISTINA © 2008 Por *Templates para Você*